Kesehatan Anak-anak Versus Gula-gula Ekonomi Industri Rokok
Lisda Sundari membuka percakapan dengan ramah di ujung telepon. Namun, selama bercerita nada suaranya terdengar getir. Hatinya resah karena menurut dia anak-anak di negeri ini nyaris tidak diperhitungkan kepentingannya dan dilindungi masa depannya. Satu hal yang menjadi keprihatinan Ketua Yayasan Lentera Anak itu adalah perlindungan anak-anak dari paparan iklan dan promosi rokok yang nyaris tidak ada.
”Anak tidak diperhitungkan di negeri ini. Mereka cuma dilihat sebagai angka, tidak dilihat sebagai manusia yang punya hak kesehatan,” kata penerima penghargaan Judy Wilkenfeld 2019 dari Campaign for Tobacco-Free Kids itu, Rabu (27/10/2021). Padahal, sebagai negara yang sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak tahun 1990, Indonesia memiliki kewajiban melindungi anak-anak.
Lisda mengaku selalu bingung menjawab pertanyaan anak-anak Indonesia yang cerdas soal rokok. ”Bu, kalau rokok berbahaya kenapa dijual bebas, malah diiklankan. Sementara narkoba yang juga bikin kecanduan tidak boleh diiklankan. Sering mereka tanya begitu. Jangan salah, anak-anak kita sudah sekritis itu,” tutur Lisda.
Kekhawatiran Lisda beralasan. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun di Indonesia naik dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018). Selama satu dekade, perokok pemula juga meningkat 240 persen (Riskesdas 2007-2018). Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019 menargetkan perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen pada 2019.
Anak tidak diperhitungkan di negeri ini. Mereka cuma dilihat sebagai angka, tidak dilihat sebagai manusia yang punya hak kesehatan.
Data tersebut menunjukkan betapa konsistennya industri rokok selama ini dalam meraup untung dari anak dan remaja yang kecanduan rokok. Dokumen internal Philip Morris tahun 1981 menyatakan bahwa remaja hari ini adalah pelanggan potensial esok hari. Nota internal RJ Reynolds Tobacco Company tahun 1984 pun menyatakan bahwa ”perokok remaja adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja tidak merokok, industri akan bangkrut, sebagaimana masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah”.
Sebenarnya, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) terbaru, pemerintah telah menargetkan penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024 dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Revisi ini menjadi amanah Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 dan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2018 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah.
Lisda memandang RPJMN ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk melindungi anak dari iklan dan promosi rokok. Pemerintah harus melihat perlindungan anak sebagai sumber daya manusia investasi jangka panjang. Investasi tak melulu soal uang.
Urgensi
Jika melihat aspirasi kelompok pengendalian tembakau yang memperjuangkan revisi, ada empat materi pokok revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Pertama, memperluas peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok dari 40 persen menjadi 90 persen.
Kedua, melarang iklan rokok luar ruang dan di media daring. Ketiga, mendefinisi ulang hasil produk tembakau lain (HPTL) untuk mengakomodasi produk nikotin dan tembakau baru yang dipanaskan. Keempat, menyempurnakan pengawasan PP No 109/2012.
Kemudian, setidaknya ada tiga alasan mengapa revisi PP No 109/2021 mendesak dilakukan. Pertama, komitmen pemerintah sendiri yang ingin membangun sumber daya manusia Indonesia yang unggul melalui pembudayaan perilaku hidup sehat. Itu sebabnya, RPJMN 2020-2024 mengamanatkan perluasan peringatan kesehatan bergambar, revisi PP No 109/2012, dan pelarangan total iklan dan promosi rokok.
Kedua, pengawasan implementasi PP No 109/2012 di lapangan yang sejauh ini tidak jelas. Ketiga, menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Produk tembakau baru (vape dan rokok dengan pemanasan) sudah dikenai cukai, tapi ada kekosongan aturan soal pengendalian konsumsinya. Industri rokok juga terus memanfaatkan teknologi digital yang berkembang pesat untuk memasarkan produknya.
Melihat materi di atas, revisi PP No 109/2012 jelas tidak sejalan dengan bisnis industri rokok. Iklan rokok, misalnya. Selama ini iklan menjadi ”senjata” untuk menjaring perokok pemula. Ketika iklan rokok luar ruang dan daring dilarang, maka kanal industri rokok untuk ”menyapa” calon perokok jadi berkurang. Larangan iklan rokok luar ruang ini sudah dilakukan sejumlah daerah.
Beberapa waktu lalu, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia Henry Najoan menilai PP No 109/2012 masih relevan dengan kondisi saat ini. Jika ada revisi, itu justru akan memperburuk usaha industri hasil tembakau yang terpuruk akibat dikenai cukai pada 2020 dan 2021.
”Pemerintah sebaiknya lebih dulu mengkaji pemberlakuan PP No 109/2012, salah satunya terkait edukasi. Pemerintah belum melakukan upaya konkret mencegah perokok anak,” katanya.
Rezim kesehatan yang didorong para pegiat pengendalian tembakau dan rezim ekonomi yang dibawa industri rokok rasanya mustahil dipertemukan. Seiring materi revisi yang terus bergulir dan kini sudah ada di meja Sekretariat Kabinet menempatkan bola panas revisi ada di pemerintah.
Pada siapa pemerintah akan berpihak? Apakah pemerintah akan konsisten dengan pendiriannya dalam RPJMN yang ingin merevisi PP No 109/2012 atau justru menjilat ludahnya sendiri dengan tidak konsisten terhadap kebijakannya sendiri?
Meski hanya sebuah PP, bukan undang-undang yang hierarkinya lebih tinggi, ternyata revisi PP No 109/2012 tak mudah dilakukan. Proses revisi sejauh ini telah berjalan tiga tahun. Di sisi yang lain, lambatnya revisi juga tidak bisa dipisahkan dari keterbelahan sikap pemerintah soal isu ini. Arah dukungan sejumlah kementerian yang berbeda satu sama lain menghambat proses revisi.
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berada di rezim kesehatan yang mendukung revisi. Sementara Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian bersuara seperti industri rokok.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Peindustrian Edy Sutopo mengatakan, saat ini ketika laju pandemi Covid-19 melandai dan pemulihan ekonomi mulai berjalan bukanlah momen yang tepat untuk revisi PP No 109/2012.
Industri hasil tembakau (IHT) juga sedang mengalami pukulan yang cukup berat dari kenaikan cukai rokok tahun 2020 yang tinggi dan menurunnya daya beli. Dengan demikian, revisi PP No 109/2012 dikhawatirkan membuat kondisi semakin terpuruk yang buntutnya berdampak juga kepada petani tembakau dan pekerja pabrik rokok.
Ketika ditanya kapan waktu yang tepat untuk melakukan revisi, Edy menjawab, pihaknya harus bicara dengan pelaku usaha terlebih dulu. Menurut dia, belum banyak industri yang kontribusinya kepada negara melalui cukai dan pajak dan mengangkat kehidupan masyarakat seperti industri rokok. ”Itu yang membuat kami hati-hati,” ujarnya.
Edy sepakat dengan keinginan untuk mengendalikan konsumsi rokok agar prevalensi perokok pemula menurun. ”Pelaku usaha juga ingin proaktif mengedukasi remaja soal pengendalian konsumsi merokok,” katanya.
Ia menilai PP No 109/2021 sudah lebih maju dalam mengendalikan konsumsi rokok dibandingkan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Apabila ada kekurangan, lebih baik PP dievaluasi menyeluruh, tidak perlu direvisi. ”Jangan terlalu ketat dulu,” katanya.
Edy juga menambahkan, revisi PP No 109/2021 akan berimbas panjang. Petani tembakau dan pekerja pabrik rokok akan terdampak. Serapan daun tembakau petani oleh industri akan menurun. Kebutuhan tembakau industri rokok 350.000-400.000 ton per tahun, sementara produksi dalam negeri hanya 200.000 ton sehingga industri masih impor daun tembakau.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto menyampaikan, aturan terkait revisi PP No 109/2012 seharusnya tak lagi dipertentangkan. Aturan itu diperlukan untuk melindungi anak dan remaja dari paparan rokok.
Retno Rusdjijati, Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang, mengatakan, nasib petani tembakau tidak terpengaruh revisi PP No 109/2012. Bahkan, petani pun banyak yang tidak tahu isi PP itu. Yang mereka tahu selama ini adalah mereka dirugikan oleh tata niaga daun tembakau yang tidak adil. Yang meraup untung justru tengkulak yang kadang mengatasnamakan organisasi petani.
Selama ini, MTCC banyak mendampingi petani tembakau di daerah-daerah penghasil tembakau. ”Mau ada iklan rokok atau tidak, mereka tidak peduli. Meski mereka perokok, petani tembakau umumnya tidak ingin anak-anaknya merokok,” kata Retno.
Edy juga menambahkan, revisi PP No 109/2021 akan berimbas panjang. Petani tembakau dan pekerja pabrik rokok akan terdampak. Serapan daun tembakau petani oleh industri akan menurun. Kebutuhan tembakau industri rokok 350.000-400.000 ton per tahun, sementara produksi dalam negeri hanya 200.000 ton sehingga industri masih impor daun tembakau.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto menyampaikan, aturan terkait revisi PP No 109/2012 seharusnya tak lagi dipertentangkan. Aturan itu diperlukan untuk melindungi anak dan remaja dari paparan rokok.
Retno Rusdjijati, Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang, mengatakan, nasib petani tembakau tidak terpengaruh revisi PP No 109/2012. Bahkan, petani pun banyak yang tidak tahu isi PP itu. Yang mereka tahu selama ini adalah mereka dirugikan oleh tata niaga daun tembakau yang tidak adil. Yang meraup untung justru tengkulak yang kadang mengatasnamakan organisasi petani.
Selama ini, MTCC banyak mendampingi petani tembakau di daerah-daerah penghasil tembakau. ”Mau ada iklan rokok atau tidak, mereka tidak peduli. Meski mereka perokok, petani tembakau umumnya tidak ingin anak-anaknya merokok,” kata Retno.