SIARAN PERS: Intervensi Industri Rokok yang Tinggi dalam Regulasi Kesehatan, Menjadikan Anak Semakin Tidak Terlindungi
Jakarta, 31 Mei 2024 — Negara harus hadir memberikan perlindungan kepada anak dari segala bentuk intervensi industri rokok melalui regulasi pengendalian tembakau yang kuat. Sepanjang pemerintah bersikap permisif terhadap campur tangan industri tembakau dalam proses penyusunan regulasi, maka dapat dipastikan regulasi pengendalian tembakau semakin lemah. Ini tentunya akan berdampak kepada anak-anak karena mereka akan terus menerus menjadi target pemasaran industri rokok yang masif dan manipulatif. Sebab regulasi yang lemah cenderung akan berpihak kepada kepentingan industri tembakau, bukan kepada kepentingan terbaik bagi anak. Demikian benang merah yang bisa ditarik dari Media Briefing dalam rangka Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2024 bertajuk ”Menguak Campur Tangan Industri Rokok dalam Melemahkan UU dan RPP Kesehatan di Indonesia” yang diadakan Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) dan Lentera Anak di Jakarta, hari ini, (31/05/24).
Menurut Mouhamad Bigwanto, Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), kuatnya intervensi atau campur tangan industri tembakau dalam penyusunan regulasi tercermin dalam Laporan hasil monitoring yang dirangkum RUKKI dan Lentera Anak, berjudul 'Pelemahan Hukum dan Regulasi Kesehatan di Indonesia: Studi Kasus Pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam UU dan RPP tentang Kesehatan'.
“Laporan ini secara spesifik memantau pemberitaan media massa selama bulan Maret–Desember 2023 tentang penyusunan RUU Kesehatan dan RPP Kesehatan, khususnya pengaturan zat adiktif. Selain itu kami juga mengumpulkan berbagai dokumen yang terkait, seperti surat menyurat dari industri dan kementerian,” kata Bigwanto. Ia menjelaskan, hasil analisis menunjukkan ada indikasi kuat terjadi praktik gangguan melalui sejumlah taktik, dari industri tembakau dan dari pihak-pihak yang mereka sokong, terhadap penyusunan UU Kesehatan dan RPP Kesehatan.
“Kami merangkum, setidaknya ada tiga taktik yang dilakukan industri dalam proses penyusunan regulasi, yaitu memenuhi media masa dengan informasi yang tidak relevan dan manipulatif, menggunakan berbagai pihak untuk menggiring opini publik, serta mencampuri proses pembuatan kebijakan melalui seminar, konferensi pers, focus group discussion (FGD), audiensi, dan mengirim surat kepada pemerintah.
Taktik disinformasi, menurut Bigwanto, banyak ditemukan selama proses pembuatan UU Kesehatan, dan setidaknya ditemukan 4 disinformasi. Misalnya informasi bahwa tembakau memiliki nilai ekonomi dan nilai sosial sehingga tidak boleh disamakan dengan narkotika dan psikotropika yang jelas merugikan pemakai dan negara. Informasi ini keliru karena tembakau juga punya efek negatif terhadap pemakainya. Disinformasi lainnya bahwa RUU Kesehatan akan berdampak buruk pada petani tembakau serta mengganggu kesejahteraan dan kelangsungan hidup jutaan pekerja di seluruh ekosistem Industri Hasil Tembakau Indonesia. Ada pula disinformasi bahwa perumusan RUU Kesehatan tidak melibatkan masyarakat dan stakeholder terkait. Serta kuatnya narasi yang menyampaikan bahwa profil risiko produk rokok elektronik lebih rendah dari rokok konvensional
“Disinformasi yang sangat jelas misalnya ketika disampaikan bahwa produk tembakau tidak merugikan negara. Sementara sudah jelas produk tembakau itu merugikan negara, lewat biaya kesehatan akibat konsumsi tembakau, yang lebih besar dari pendapatan cukai. Meskipun tembakau legal, tapi produknya tidak normal, sehingga konsumsinya perlu dikendalikan dan peredarannya perlu diawasi,” tegas Bigwanto.
Taktik kedua, kata Bigwanto, adalah menggunakan berbagai kelompok (front groups), termasuk komunitas yang diinisiasi oleh industri, untuk menyuarakan narasi yang membela industri tembakau. Kelompok yang dilibatkan bahkan termasuk sejumlah anggota legislatif dari sejumlah fraksi, organisasi masyarakat keagamaan, lembaga penelitian, akademisi, dan orang dalam di pemerintahan, baik pusat maupun daerah.
Selengkapnya download siaran pers terlampir.