Blog

Tembakau, Covid-19, dan Hak Anak untuk Sehat

Tembakau, Covid-19, dan Hak Anak untuk Sehat

"Prevalensi perokok usia anak yang terus meningkat menunjukkan belum ada upaya signifikan melindungi anak dari bahaya rokok. Meski pemerintah tengah fokus menangani Covid-19, jangan sampai masalah ini terabaikan."

Oleh: Lisda Sundari
Ketua Lentera Anak, Pegiat Pengendalian Tembakau

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan tembakau menghilangkan nyawa setengah dari seluruh penggunanya. Setiap tahun, enam juta orang meninggal dunia akibat mengisap rokok secara aktif, dan 900.000 orang lainnya meninggal karena menjadi perokok pasif. Di Indonesia, setiap tahun sekitar 225.700 orang meninggal akibat merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau.

Laporan dari US Surgeon General (2010) menegaskan bahwa asap tembakau menimbulkan kecanduan, dan bahwa rokok memang dirancang untuk menimbulkan kecanduan. Salah satu senyawa kimia utama yang menimbulkan efek kecanduan rokok yang kuat adalah nikotin. Kondisi kecanduan nikotin membuat penderitanya tidak bisa lagi lepas dari pengaruh nikotin, meskipun hal tersebut bisa menimbulkan bahaya bagi kesehatannya. Studi Surgeon juga menyebutkan rokok mengandung 7000 zat kimia dan 69 karsinogenik penyebab kanker.

Namun seolah abai dengan dampak rokok bagi kesehatan, jumlah perokok di Indonesia justru sangat tinggi. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi merokok di Indonesia sekitar 75 juta orang atau 33% dari jumlah penduduk Indonesia, dengan angka tertinggi terjadi pada kelompok usia 10-49 tahun. Angka ini merupakan urutan ketiga tertinggi di dunia. 

Data peningkatan jumlah perokok anak juga sangat mencengangkan. Pada 2018, berdasarkan data Riskesdas, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen atau sekitar 3,2 juta, dari sebelumnya 7,2 persen  pada tahun 2013. Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen pada 2019.

Tingginya jumlah perokok anak sangat mengkhawatirkan, karena dampak merokok pada anak selain menimbulkan kecanduan juga berpotensi merusak perkembangan otak mereka. Hal ini sangat berbahaya karena tumbuh kembang anak dan perkembangan otak manusia dimulai sejak anak masih di dalam kandungan dan berlangsung hingga berusia 18 tahun. Perkembangan paling lambat terjadi pada otak bagian depan atau prefrontal cortex(PFC), tepat di belakang dahi, yang berlangsung sampai anak berusia 20 tahun. PFC bertanggungjawab terhadap kemampuan kognitif yaitu fungsi kecerdasan, kemampuan analisis, stabilitas emosi dan pengambilan keputusan, namun ia sangat rentan dipengaruhi oleh sesuatu yang membuat adiksi termasuk konsumsi nikotin.  

Anak-anak yang terpapar asap rokok dari para perokok juga sangat berisiko terkena penyakit serius hingga kematian. Berdasarkan data Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskulas Indonesia (PERKI) pada 2018, sebanyak 40 juta anak di Indonesia menjadi perokok pasif. Anak-anak juga berpotensi menjadiThird-hand smoker apabila terpapar residu dari asap rokok yang menempel pada permukaan benda-benda yang terpajan asap rokok. Jika orang tua dan dewasa di rumah merokok, maka residu rokok akan melekat di seluruh rumah seperti di rambut, kulit, baju, sofa, tirai dan tempat tidur, dan anak-anak menjadi pihak yang paling berpotensi terhirup racun residu rokok yang berdampak meningkatkan risiko masalah pernapasan, termasuk pneumonia.

Yang tak kalah menyedihkan, hasil survei BPS terbaru tentang pengeluaran konsumsi per kapita dalam sebulan penduduk Indonesia sepanjang tahun 2020 mencatat pengeluaran uang untuk membeli rokok dan produk tembakau lainnya lebih besar dari belanja makanan pokok (beras). BPS mencatat, pengeluaran rokok dan tembakau sebesar 5,99 persen dari seluruh pengeluaran bulanan, sedangkan belanja beras hanya  5,45 persen. Ini sangat memprihatinkan karena besarnya pengeluaran untuk membeli rokok akan mengurangi alokasi untuk membeli makanan bergizi, pendidikan dan layanan kesehatan. Ini berpotensi mengancam hak-hak dasar anak yaitu hidup, tumbuh kembang, kesehatan dan pendidikan, dimana anak-anak berpotensi kekurangan gizi, putus sekolah dan tidak mendapat layanan kesehatan ketika sakit.

Peningkatan prevalensi perokok anak di Indonesia menjadi bukti lemahnya pengendalian tembakau. Meskipun sejak 2012 Indonesia sudah memiliki PP Nomor 109 tahun 2012, tapi implementasi regulasi ini terbukti gagal melindungi anak dari adiksi rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak. Karena iklan, promosi, dan sponsor rokok (IPS) masih dibolehkan, akses rokok sangat mudah karena murah dan dapat dibeli dimana-mana, serta perilaku merokok dianggap hal yang biasa.

Berbagai studi menunjukkan terpaan iklan dan promosi rokok sejak usia dini meningkatkan persepsi positif dan keinginan untuk merokok. Studi Uhamka (2007) menunjukkan, 46,3 persen remaja mengaku iklan rokok mempengaruhi untuk mulai merokok. Studi Surgeon General menyimpulkan iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya dan mendorong anak-anak mencoba merokok serta menganggap rokok adalah hal yang wajar (WHO 2009).

Laporan WHO pada 2013 juga menyebutkan iklan, promosi dan sponsor rokok menjadi bentuk terdepan industri rokok untuk mempertahankan dan meningkatkan konsumen mereka dengan menormalisasikan produk rokok. Berbagai aktivitas promosi dilakukan menggunakan strategi subliminal advertising untuk menjadikan rokok terlihat sebagai produk normal dan mengaburkan bahaya rokok. Subliminal advertising adalah teknik yang mengekspos individu pada suatu gambaran produk, nama dagang atau rangsangan  lainnya yang terasosiasi dengan kebiasaan targetnya, dimana  individu tidak menyadari bahwa dirinya sedang terekspos(Liza Djaprie, 2017). Anak yang terpapar iklan rokok terus menerus dengan citra positif, akan tertanam di alam bawah sadarnya bahwa rokok produk yang normal dan baik. Apalagi hampir semua iklan rokok menggambarkan gaya hidup remaja yang keren, macho, kreatif dan hebat.

Setiap hari, iklan dan promosi rokok mengepung anak dan remaja dari segala sisi.  Mulai dari iklan rokok di televisi dan internet hingga paparan reklame dan promosi rokok di warung-warung dekat rumah dan sekolah. Hasil Survei Yayasan Lentera Anak bersama SFA dan YPMA pada 2015 menunjukkan 85 persen sekolah dari mulai TK hingga SMA di 5 kota dikepung iklan rokok. Data Global Youth Tobacco Survey 2019 menunjukkan sebanyak 19,20 persen pelajar adalah perokok aktif, dan 65,2 persen pelajar melihat iklan rokok di tempat penjualan. Ada 60,9 persen pelajar melihat iklan rokok di luar ruang, 56,8 persen pelajar melihat iklan rokok di televisi, dan 36,2 persen pelajar melihat iklan rokok di internet.

Memang di sisi lain kita bersyukur Pemerintah sudah memiliki komitmen yang tertuang dalam Perpres No. 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024, untuk menargetkan penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024 melalui revisi PP 109/2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Namun hingga saat ini penyelesaian revisi PP 109/2012 untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia masih terus tertunda. 

Hari ini, tanggal 31 Mei 2021 yang merupakan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS), WHO  telah menetapkan tema “commit to quit” atau berkomitmen untuk berhenti, seharusnya dapat menjadi momentum bagi semua pihak untuk berhenti melakukan hal negatif yang berdampak pada kesehatan anak. Orang tua harus berhenti merokok di dekat anak agar anak tidak menjadi perokok pasif dan  third-hand smoker. Industri rokok harus berhenti memasarkan rokok kepada anak dengan strategi manipulatif yang menjadikan rokok terlihat seperti produk normal. Serta Pemerintah harus berhenti menolak segala intervensi yang dapat melemahkan regulasi pengendalian tembakau di Indonesia, sehingga jangan sampai Pemerintah dan DPR terkesan abai mendesakkan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia.

Meskipun saat ini Kementerian Kesehatan fokus pada upaya penanganan Covid-19, namun jangan menafikan program kesehatan yang bertujuan melindungi kesehatan anak. Karena tidak cukup menyelesaikan pandemi melalui penguatan 3T (testing, tracing, treatment), vaksinasi dan protokol kesehatan yang ketat, tetapi juga dibutuhkan sosialisasi bahaya rokok yang massif serta urgensi merevisi PP 109/2012 agar regulasi ini memiliki kekuatan untuk mengatur secara ketat peredaran semua jenis produk tembakau dan iklan/promosi produk rokok.

Apalagi di masa pandemi Covid-19 anak-anak menjadi kaum yang paling rentan karena berpotensi menjadi perokok pasif akibat terpapar asap rokok dari orang tua dan orang dewasa lainnya yang merokok di rumah. Serta,  dampak serius lainnya adalah anak-anak yang di masa pandemi Covid-19 banyak melakukan aktivitas belajar dari rumah, berpotensi terpapar iklan dan promosi rokok yang massif di media sosial.

Dalam UUD 1945 pasal 28B ayat (2), disebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dalam pasal 28 H ayat (1) disebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Hak setiap anak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan juga didukung UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak dalam kandungan, bayi, balita, hingga remaja; termasuk upaya pemeliharaan kesehatan anak cacat dan anak yang memerlukan perlindungan.

Selain itu dalam PP Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak pasal 6 huruf (c) disebutkan bahwa pemantauan pelaksanaan pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (a) dilakukan terhadap pemenuhan hak kesehatan dasar dan kesejahteraan.

Masyarakat sangat mendukung upaya Pemerintah untuk mengejar target Indonesia bebas Covid-19, namun tentunya tidak dengan mengabaikan regulasi dan program kesehatan untuk melindungi anak. Sangat mustahil menurunkan prevalensi Perokok Anak bila tidak ada komitmen Pemerintah membuat regulasi tembakau yang kuat dan tegas. Bappenas sudah memproyeksikan pravelensi perokok anak  usia 10-18 tahun meningkat menjadi 16% pada 2030 bila tidak ada upaya dan komitmen yang kuat dari seluruh sektor. Inilah urgensi pentingnya regulasi yang kuat seperti revisi PP 109/2012 untuk melindungi anak Indonesia.

Artikel ini telah tayang di Tembakau, Covid-19, dan Hak Anak untuk Sehat - Kompas.id

Share this Post:  

Link Terkait: