Hak Kesehatan Anak dalam Tekanan Intervensi Industri Rokok
Masih tingginya intervensi industri rokok dalam proses penyusunan kebijakan berdampak kepada tidak optimalnya kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Sebab, kebijakan yang dihasilkan dari proses yang penuh intervensi akan cenderung berpihak kepada industri, bukan kepada kepentingan terbaik bagi anak. Anak-anak yang menjadi target pemasaran industri rokok menjadi semakin rentan karena negara belum hadir sepenuhnya untuk melindungi mereka dari strategi pemasaran industri rokok yang masif dan manipulatif.
Pada 6 Oktober 2023, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menjelaskan kepada media tentang permintaan Presiden Joko Widodo agar pihaknya segera menyelesaikan pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Menkes Budi juga menjelaskan proses sosialisasi, partisipasi publik, dan uji publik RPP telah selesai dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dan Kemenkes saat ini fokus pada tahap finishing dari RPP Kesehatan, yang diharapkan bisa disahkan pada tahun ini juga.
Proses penyusunan RPP Kesehatan berlangsung di Kemenkes sejak beberapa bulan yang lalu. Pembahasan Panitia Antar-Kementerian (PAK) dan uji publik sudah dijalankan sejak pertengahan September. Selama proses penyusunan RPP Kesehatan ini, publik juga dapat berpartisipasi melalui tayangan saluran Youtube Kemenkes dan dapat memberikan asupan yang bermakna melalui situs https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ selama proses penyusunan RPP.
Hal yang menarik, selama periode September-Oktober 2023, Lentera Anak mencatat banyak pemberitaan di media daring (online) yang menunjukkan kencangnya narasi penolakan atas proses penyusunan RPP Kesehatan. Pihak yang bersuara menggunakan narasi yang hampir seragam dalam menyuarakan penolakan terhadap RPP Kesehatan ini.
Pihak yang ditampilkan mulai dari gabungan pengusaha rokok, asosiasi personal vaporizer atau vape, pengamat hukum, anggota DPR, hingga lembaga kajian dan asosiasi lainnya. Mereka yang sebelumnya tidak pernah menyuarakan soal tembakau ”tiba-tiba” bersuara lantang untuk melindungi industri tembakau dari hulu hingga ke hilir.
Mereka khususnya mengkritisi pasal-pasal terkait pengamanan zat adiktif, yakni pasal 435 hingga pasal 460 di RPP Kesehatan, yang dianggap bersifat pelarangan dan sangat restriktif terhadap aktivitas industri dari hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan. Oleh karena itu, mereka meminta agar pasal-pasal terkait pengamanan zat adiktif dikeluarkan dari RPP Kesehatan. Mereka juga tidak bersedia iklan rokok dilarang karena menganggap rokok merupakan produk legal yang diakui oleh negara.
Boleh jadi, strategi penggunaan media massa dalam menyuarakan dukungan kepada industri rokok inilah yang menurut ”the Tobacco Atlas” menjadi salah satu strategi industri rokok dalam melemahkan upaya pengendalian tembakau. Berdasarkan riset the Tobacco Atlas di beberapa negara di dunia, industri tembakau telah melakukan berbagai strategi untuk melemahkan upaya pengendalian tembakau melalui berbagai cara, termasuk di Indonesia. Cara-cara yang digunakan antara lain menggunakan strategi media manipulation, lobbying and hijacking legislative processes, public relation, dan creating illusion of support.
Indeks gangguan industri tembakau
Pemberitaan Kompas.id pada 29 September 2023 menjelaskan hasil monitoring yang dilakukan Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (Rukki) tentang tingginya indeks gangguan industri tembakau atau the Tobacco Industry Interference Index (TII Index) di Indonesia.
TII Index menjadi alat untuk menilai sejauh mana tingkat campur tangan industri tembakau dalam proses pembuatan kebijakan, dengan memberikan kerangka kerja yang membantu mengidentifikasi dan menganalisis berbagai cara di mana industri tembakau bisa memengaruhi langkah-langkah pengendalian tembakau di tingkat nasional.
Indeks mencakup tujuh area yang menggambarkan campur tangan industri tembakau. Semakin tinggi skor yang diperoleh, semakin besar campur tangan yang terjadi dalam proses pembuatan kebijakan terkait tembakau.
Tercatat, indeks gangguan industri tembakau pada 2023 sebesar 84 poin, menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat satu dari sembilan negara lainnya di Asia Tenggara pada TII Index dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, pada 2015, angka TII Index Indonesia juga di angka 84, lalu turun menjadi 79 pada 2017, dan naik kembali menjadi 82 pada 2019 dan 83 poin pada tahun 2020. Pada tahun ini, Indonesia kembali meraih angka 84, yang sekaligus menunjukkan intervensi industri tembakau dalam pembuatan kebijakan terkait tembakau menguat.
Rukki menemukan bahwa industri tembakau di Indonesia sangat terlibat dalam pembentukan kebijakan dan mendapatkan berbagai bentuk dukungan dari pemerintah.
Angka 84, pada TII Index 2023 ini dihitung berdasarkan data yang diambil selama dua tahun terakhir (April 2021 hingga Maret 2023). Berdasarkan data tersebut, Rukki menemukan bahwa industri tembakau di Indonesia sangat terlibat dalam pembentukan kebijakan dan mendapatkan berbagai bentuk dukungan dari pemerintah. Juga muncul kekhawatiran tentang adanya interaksi yang tidak perlu di antara pejabat pemerintah tingkat tinggi dengan industri tembakau, dan kurangnya transparansi atas interaksi tersebut.
Industri tembakau juga melakukan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan untuk meningkatkan citra mereka dan hubungan dengan pemerintah dan masyarakat lokal. Selama pandemi Covid-19, industri tembakau berhasil masuk ke sektor kesehatan dengan memberikan bantuan untuk pengobatan Covid-19 kepada pemerintah pusat, seperti Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, dan rumah sakit. Hal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya, terutama bagi Kementerian Kesehatan.
Laporan TII Index seharusnya bisa menjadi referensi penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan sejauh mana mereka dipengaruhi oleh campur tangan industri tembakau. Serta bagaimana pemerintah mau mengambil tindakan yang lebih proaktif dalam melindungi kesehatan masyarakat. Dengan komitmen kuat pemerintah mengurangi campur tangan industri tembakau dalam proses pembuatan kebijakan, masyarakat optimistis Indonesia dapat menghasilkan kebijakan pengendalian tembakau yang lebih kuat melindungi kesehatan masyarakat, khususnya membentengi anak dari rokok.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun terus meningkat, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen (2018). Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen pada 2019. Bappenas juga sudah memprediksi perokok anak akan menjadi 16 persen pada 2030 apabila tidak ada komitmen dan regulasi yang kuat melindungi anak dari rokok.
Konsumsi rokok, khususnya bagi anak, akan memengaruhi fungsi jaringan prefrontal cortex (PFC), yaitu otak bagian depan yang bertanggung jawab terhadap kemampuan kognitif, pengambilan keputusan, kemampuan analisis, dan stabilitas emosi. Mengonsumsi nikotin sejak usia dini akan memengaruhi fungsi PFC dan menyebabkan kerusakan PFC secara permanen.
Terpaan iklan dan promosi rokok sejak usia dini juga meningkatkan persepsi positif dan keinginan untuk merokok. Studi Surgeon General menunjukkan bahwa iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya, mendorong anak-anak mencoba merokok, dan menganggap rokok adalah wajar (WHO, 2009).
Melalui teknik subliminaladverting, iklan rokok mengangkat gaya hidup anak muda yang normal, seperti ceria, setia kawan, dan kreatif, yang tanpa sadar di dalam alam bawah sadar anak akan tertanam citra bahwa rokok adalah produk normal karena iklannya tidak dilarang dan mencerminkan gaya hidup positif. Padahal, rokok adalah produk tidak normal dan berbahaya karena mengandung 7.000 zat berbahaya dan 69 di antaranya memicu kanker.
Entah sampai kapan bangsa ini peduli pada pentingnya upaya pemenuhan hak kesehatan anak. Di tengah kondisi darurat perokok anak, haruskah Indonesia kehilangan satu generasi lebih dulu untuk digantikan dengan generasi baru yang lebih sehat dan produktif? Kita berharap tidak. Negara harus hadir untuk memastikan anak Indonesia terpenuhi hak kesehatannya.
Kucuran dana CSR industri rokok miliaran rupiah tiap tahun sekalipun tidak akan pernah sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan akibat anak-anak sudah merokok sejak usia dini. Tanpa kebijakan yang kuat dan komprehensif, maka sia-sia upaya mencegah munculnya perokok baru guna memutus peningkatan prevalensi merokok anak. Selama intervensi industri rokok tetap ada dalam proses penyusunan kebijakan pengendalian tembakau, harapan untuk terciptanya regulasi yang kuat melindungi anak sulit tercapai.
Lisda Sundari, Anggota Tim Pokja RPP Kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI); Ketua Lentera Anak
Artikel initelah tayang di Kompas.id