Kebijakan Pengendalian Tembakau versus Cuan
Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak memaparkan bagaimana kebijakan perlindungan anak dari bahaya tembakau atau rokok kerap kali kalah oleh kepentingan ekonomi.
Data (BPS) yang dirilis pada November ini mencatat jumlah penduduk miskin mencapai 27,54 juta orang pada Maret lalu. Garis kini naik 2,96 persen, dari Rp 458. 947 per kapita per bulan pada September 2020 menjadi Rp 472. 525 per kapita per bulan pada Maret 2021. Rokok kretek filter menjadi komoditas penyumbang terbesar kedua dalam perhitungan garis kemiskinan setelah beras, dengan kontribusi 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di perdesaan.
Data bahwa rokok sebagai komoditas penyumbang terbesar kedua dalam perhitungan garis kemiskinan sebenarnya tidak mengejutkan, karena hal ini terus berulang. Pada Juli 2019, juga menegaskan bahwa rokok menempati posisi kedua setelah beras sebagai komoditas yang memberi pengaruh besar terhadap garis kemiskinan, dengan kontribusi 12,22 persen.
Mengapa hal ini terus berulang tapi tidak terlihat upaya yang tegas dari pemerintah untuk menekan konsumsi rokok ke tingkat paling rendah? Setiap tahun, enam juta orang meninggal akibat mengisap rokok secara aktif dan 900 ribu orang lainnya meninggal karena menjadi perokok pasif. Di Indonesia, setiap tahun sekitar 225. 700 orang meninggal akibat merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau.
Pemerintah sepertinya tidak atau belum meletakkan derajat sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan sumber daya manusia. Aturan dan kebijakan di bidang kesehatan masih dibuat parsial dan sporadis, belum menyeluruh dan terintegrasi.
Sejumlah survei menyebutkan bahwa perilaku mengkonsumsi justru meningkat di masa pandemi . Survei Komisi Nasional Pengendalian Tembakau yang dirilis pada September 2020, misalnya, menyebutkan bahwa 13,1 persen responden perokok mengaku pengeluaran untuk membeli rokok justru meningkat di masa pandemi.
Mirisnya, di tengah krisis pengendalian konsumsi rokok, presiden belum juga mengesahkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Peraturan ini terbukti gagal melindungi anak dari rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak, karena iklan, promosi, dan sponsor rokok masih diperbolehkan dan sangat masif serta akses rokok sangat mudah dan murah.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam sebuah webinar pada Maret lalu, menyatakan keprihatinannya terhadap prevalensi perokok anak yang terus meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun naik, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Kenaikan ini, kata Menteri Budi, akibat masifnya paparan iklan, promosi, dan sponsor rokok terhadap anak sehingga Kementerian Kesehatan sedang memproses revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 untuk memperluas peringatan kesehatan dalam bentuk gambar, melarang penjualan rokok batangan, mengatur rokok elektronik, dan melarang iklan rokok di media teknologi informasi serta luar ruang.
Pada April lalu, terdengar kabar bahwa proses revisi peraturan ini sudah sampai di meja Sekretariat Negara dan sudah direncanakan untuk dibawa ke rapat terbatas yang dipimpin presiden. Namun, hingga saat ini, proses revisi macet. Yang terjadi malah maraknya penolakan keras terhadap rencana revisi tersebut dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, asosiasi pengusaha rokok, dan asosiasi petani tembakau.
Tampaknya pemerintah gamang dalam merevisi peraturan tersebut. Padahal tidak ada yang salah dari revisi tersebut karena sudah diamanatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2018. Situasi ini sangat membuat miris karena anak-anak yang rentan terpapar rokok dan iklan promosi rokok harus berhadapan dengan regulasi yang lemah dalam melindungi mereka.
Kementerian Perindustrian, yang didukung pengusaha rokok, menolak revisi peraturan tersebut dengan dalih kontribusi rokok yang tinggi bagi ekonomi Indonesia. Ini menegaskan bahwa kepentingan ekonomi yang mengatasnamakan "cuan" kerap kali mengalahkan kepentingan kesehatan. Padahal kondisi Indonesia sudah darurat, karena jumlah perokok terus meningkat dan perlu ada upaya memutus peningkatan dengan mencegah munculnya perokok baru, khususnya anak dan remaja, melalui regulasi yang komprehensif.
Sepanjang kita tidak memiliki kebijakan kesehatan yang komprehensif, semakin terbukti bahwa pemerintah belum meletakkan derajat kesehatan masyarakat sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan sumber daya manusia. Ini sungguh ironis. Untuk apa kita setiap tahun memperingati Hari Kesehatan Nasional jika pemerintah tidak segera membuat kebijakan di bidang kesehatan yang kuat dan tegas dalam melindungi masyarakat. Peringatan Hari Kesehatan Nasional, yang jatuh setiap 12 November, hanya menjadi seremoni belaka dan tidak menyisakan jejak perlindungan kesehatan masyarakat.
---- Irwan Kurniawan ----
Opini ini telah tayang di: Uang atau Sehat: Ironi Kebijakan yang Tak Ramah Anak - Opini - koran.tempo.co