Blog

Revisi PP 109/2012 Harus Mendahulukan Kepentingan Hak Kesehatan Anak

Revisi PP 109/2012 Harus Mendahulukan Kepentingan Hak Kesehatan Anak

Indonesia adalah negara urutan ke-tiga perokok tertinggi di dunia, yaitu sebesar 90 Juta perokok aktif, dan memproduksi rokok rata-rata sebanyak 338 miliar batang setiap tahun. Menurut data Tobbaco Control Support Center pada 2015, konsumsi rokok rata-rata per orang per hari pada 2013, yaitu 12,3 batang atau 369 batang per bulan, atau 12-13 batang/hari/orang (Riset Kesehatan Dasar, 2018).

Tingginya jumlah perokok di Indonesia disebabkan akses rokok yang mudah. Hampir semua warung dan toko menjual rokok dengan harga murah dan batangan, termasuk di sekitar sekolah. Ada 7 dari 10 tempat penjual yang memajang spanduk atau poster yang mempromosikan iklan rokok. 59% remaja membeli rokok di warung/toko tidak pernah ditolak karena usianya (Astuty dan Freeman, 2018). Sehingga siapapun termasuk anak-anak dapat membeli rokok di mana saja,dengan uang sakunya, sekitar 1000 rupiah per batang.

Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka prevalensi perokok di Indonesia akan terus meningkat. Pada tahun 2018 prevalensi perokok anak sudah mencapai 9,1%. Jumlah ini jauh melebihi target RPJMN 2019 untuk menurunkan perokok anak hingga batas 5,4%.

Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak, menyatakan sangat prihatin dengan peningkatan prevalensi perokok anak yang mencapai 9,1%. “Peningkatan prevalensi perokok anak adalah bukti dari lemahnya pengendalian tembakau di tanah air. Indonesia, selain tidak memiliki regulasi pengendalian tembakau yang komprehensif, juga sangat lemah dalam pengawasan regulasi tersebut,” kata Lisda.

Ia menegaskan, negara tidak boleh membiarkan kondisi ini terus terjadi. Negara wajib hadir dengan membuat regulasi yang komprehensif, untuk menekan prevalensi perokok anak yang terus meningkat.

Karena itu, bertepatan dengan perayaan Hari Kesehatan Nasional yang jatuh pada tanggal 12 November, Lentera Anak mendesak pemerintah untuk mengutamakan perlindungan anak dengan memperkuat kebijakan pengendalian tembakau komprehensif. Regulasi ini harus mencakup pembatasan akses anak mendapatkan rokok, menaikan harga rokok semahal-mahalnya agar rokok tidak terjangkau bagi kantong anak, dan menerapkan Kawasan Tanpa Rokok dengan tegas.

“Agar rokok tidak terjangkau kantong anak, cukai tembakau harus dinaikkan setinggi-tingginya. Sejauh ini kenaikan cukai belum signifikan dalam menaikan harga rokok,” kata Lisda. ”Pemerintah tidak boleh separuh hati menaikkan cukai tembakau. Kepentingan anak tidak boleh dibenturkan dengan kepentingan bisnis, apalagi bisnis rokok yang merupakan produk berbahaya dan mengandung zat adiktif,” tegasnya.

Lentera Anak juga mendukung kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Revisi terhadap PP 109/2012, kata Lisda,merupakan hal yang mendesak dilakukan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif konsumsi produk tembakau pada kesehatan, dan menurunkan prevalensi perokok anak di Indonesia.

Kemenkes RI berencana untuk memperluas ukuran gambar peringatan kesehatan (pictoral health warning/(PHW) dari 40% menjadi 90%. “Perluasan PHW menjadi 90 persen sangat penting dalam memenuhi hak masyarakat mendapatkan informasi yang benar dan mengurangi potensi munculnya bungkus rokok dengan desain-desain yang bersifat promotif,”ujar Lisda.

Terakhir, ia berharap semua pihak bersungguh-sungguh dalam menurunkan prevalensi perokok anak dengan memperkuat pengawasan. “Selain harus ada komitmen semua elemen masyarakat untuk mentaati regulasi, pihak terkait juga harus berkomitmen dalam menegakkan pengawasan,” pungkasnya.

Demikian Siaran Pers ini disampaikan.

Lisda Sundari
Ketua Lentera Anak

Share this Post:  

Link Terkait:

Comments