Blog

Mengembangkan Minat dan Bakat Anak tanpa Eksploitasi

Mengembangkan Minat dan Bakat Anak tanpa Eksploitasi

SIARAN PERS
UNTUK SEGERA DITERBITKAN

“Mengembangkan Minat dan Bakat Anak tanpa Eksploitasi”

Jakarta, 21 Februari 2022 – Para pegiat perlindungan anak sepakat bahwa perlindungan terhadap eksploitasi anak harus menjadi prioritas pertama ketika orang tua mengembangkan minat dan bakat putra-putinya.

Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, menyatakan, upaya mengembangkan minat dan bakat anak adalah sebuah keniscayaan dan bagian dari tumbuh kembang anak, namun ia mengajak para orang tua tetap waspada, melindungi, mendampingi dan memberi batas anak agar tidak terpeleset, sebab masih belum kuatnya rambu-rambu yang mengatur pengembangan minat dan bakat anak.

Hal tersebut disampaikan Lisda dalam diskusi virtual bertajuk “Mengembangkan Minat dan Bakat Anak tanpa Eksploitasi” yang berlangsung akhir pekan ini, atas kolaborasi bersama Yayasan Lentera Anak dan komunitas #funwithmomy.

Lisda menegaskan bahwa regulasi terkait pengembangan minat dan bakat anak saat ini belum kuat dan belum cukup melindungi anak. Akibatnya, anak rentan terperosok dalam eksploitasi seksual dan ekonomi.

Jika mengacu kepada UU Perlindungan Anak, kata Lisda, ada tiga unsur yang menjadi panduan apakah suatu kegiatan yang melibatkan anak berpotensi eksploitatif. Tiga unsur itu adalah, tindakan itu sepersetujuan anak atau tidak, melanggar hukum, dan adakah unsur memanfaatkan tenaga atau kemampuan anak untuk mendapatkan keuntungan.

“Tapi bukan berarti kalau anaknya sudah setuju lalu tidak ada eksploitasi ekonomi, bisa saja tetap berpotensi eksploitatif, mengingat anak-anak sejatinya belum memiliki kemampuan untuk mengantisipasi risiko-risiko yang besar,” kata Lisda.

Ia mencontohkan, anak-anak yang terlibat dalam industri kreatif menjadi artis cilik, Youtuber, influencer atau selegram, berpeluang mendapat keuntungan secara ekonomi, tapi mereka berperan layaknya seorang pekerja di media kreatif yang harus tampil  di media sosial secara intensif  dan bekerja dengan ritme cepat layaknya orang dewasa.

“Dari awalnya, anaknya menjadi subjek, dimana sekadar untuk mengekspresikan diri atau mengembangkan minat dan bakatnya tapi kemudian dalam prosesnya, karena ada tawaran endorse, tuntutan deadline atau waktu tayang dan tuntutan menyampaikan pesan-pesan tertentu, maka anak berpotensi mengalami perubahan menjadi objek dan sangat rentan berpotensi terjadinya eksploitasi ekonomi," papar Lisda.

Ketika akhirnya ada keharusan anak melakukan ini dan itu sesuai kemauan produk, maka di sinilah masuk ke wilayah abu-abu dan berpotensi eksploitatif. "Dan sayangnya peraturan di Indonesia yang berhubungan dengan minat dan bakat belum kuat. Untuk itu kita sebagai orang tua yang perlu melindungi,” tegasnya.

Ketua Yayasan Sejiwa, Diena Haryana, mengingatkan orang tua agar berhati-hati dan perlu mendampingi anak-anaknya, mengingat saat ini ancaman potensi eksploitasi seksual dari penggunaan media sosial yang melibatkan anak sudah banyak terjadi.

Menurut Diena, ada kemungkinan anak yang ikut mempromosikan produk tertentu ketika telah dewasa tidak menyukai fakta terekspos di media sosial. Potensi risiko melibatkan anak di media sosial membuat anak menjadi dikenali, dan ini bisa dimanfaatkan orang lain, termasuk potensi perundungan di masa depan pun bisa terjadi. “Bahkan bisa saja anak justru merasa tidak happy ada di media sosial karena dia sebenarnya tidak suka diekspos,” terang Diena.

Diena juga meminta orang tua berhati-hati terkait risiko pelaku pedofilia yang dapat memanfaatkan media sosial untuk mengakses foto anak.

"Penyuka anak alias pedofil sekarang dimudahkan oleh media internet. Pekerjaan mereka menjadi dimudahkan, apakah foto anak-anak itu kemudian dia gunakan untuk keuntungan dirinya atau untuk memuaskan dirinya sendiri, dan atau dia juga bisa menjual foto-foto anak tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomi,” ujarnya.

Pendiri Komunitas #funwithmomy, Junika, memberikan tips agar anak terlindungi di media sosial, dengan cara tidak menampilkan foto anak, khususnya yang masih berusia balita, secara close up. “Bisa dengan menampilkan foto anak dari samping, atau hanya diperlihatkan tangan dan kakinya saja. Atau kalaupun ada wajah sang anak di konten media sosial, sebisa mungkin kita tutupi wajah anak dengan memberi stiker. Upaya ini untuk melindungi anak agar dari risiko-risiko kejahatan di dunia maya,” kata Junika.

Baik Junika, Lisda dan Diena sepakat bahwa potensi anak mengembangkan minat dan bakatnya harus didukung penuh. Lisda mengingatkan ada banyak media atau wadah pengembangan minat dan bakat anak, tidak hanya di dunia digital, tetapi juga di dunia nyata. Junika menginginkan dalam pengembangan minat dan bakat anak orang tua tetap memperhatikan batasan-batasan dan memberikan pendampingan. Diena mengajak para orang tua berkomitmen mengantarkan anak-anak menjadi versi diri mereka yang terbaik dengan memenuhi hak tumbuh kembang anak, serta melindungi mereka dari segala kekerasan, eksploitasi, dan adiksi.

Demikian siaran pers ini disampaikan.

Share this Post:  

Link Terkait:

Comments