Pelarangan Iklan, Promosi dan Sponsor Rokok Diusulkan Masuk Kriteria Penilaian Kota Layak Anak
Pada 28 September 2016, Yayasan Lentera Anak menggelar kegiatan Focus Group Discussion ( FGD) di hotel Grand Cemara Jakarta Pusat. Fokus kegiatan FGD mengulas peluang dan tantangan untuk memasukkan sejumlah indikator baru terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan pelarangan iklan, promosi dan sponsor (IPS) rokok pada indikator Kota Layak Anak.
Diskusi diikuti sejumlah pihak yang concern pada persoalan perlindungan anak, diantaranya wakil dari Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lily Sriwahyuni Sulistyowati Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, wakil dari Dinas Pelayanan Pajak DKI, Bappeda Mataram, Badan Pemberdayaan MasyarakatPerempuan Perlindungan Anak dan KB kota Padang, Bekasi dan Tangerang Selatan, Ruandu Foundation, Gagas Foundation, Dr. Widyastuti Surojo dari IAKMI, dan dipandu oleh moderator dr. Nina Armando dari Universitas Indonesia.
Menurut Lisda Sundari, sejumlah studi menjelaskan adanya korelasi dari dampak paparan iklan rokok terhadap keinginan anak untuk merokok. Diantaranya studi Surgeon General pada 2009 yang menyimpulkan bahwa iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya, dan mendorong anak-anak untuk mencoba merokok. Sementara industri rokok terus berupaya membidik anak muda sebagai target melalui iklan rokok yang bertema gaya hidup anak muda. Karena itu, perlu upaya keras untuk melarang secara menyeluruh iklan promosi dan sponsor rokok untuk melindungi anak-anak dari target pemasaran industri rokok.
Nina Armando menjelaskan, ada peluang untuk memasukkan pelarangan iklan promosi dan sponsor rokok dalam indikator Kota Layak Anak (KLA). Kota Layak Anak sendiri adalah upaya pemerintah kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum menjadi kebijakan, institusi dan program yang layak anak. Hingga 2015, KLA sudah dikembangkan di 260 kabupaten/kota. Dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menetapkan ada 31 indikator untuk penilaian kota layak anak. Indikator penilaian itu terbagi dalam 6 bagian, yakni penguatan kelembagaan dan 5 klaster hak anak, yakni hak sipil dan kebebasan, hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak kesehatan dasar dan kesejahteraan, hak pendidikan, serta hak pemanfaatan waktu luang, kegiatan seni budaya dan perlindungan khusus.
Sejumlah peserta diskusi memberikan gambaran tentang tantangan pelarangan iklan rokok di kota masing-masing. Beberapa tantangan itu antara lain, belum adanya komitmen kuat dari pemerintah daerah untuk membuat peraturan khusus melarang iklan rokok karena masih besarnya pendapatan daerah dari pajak reklame rokok, adanya strategi khusus CSR dari industri rokok untuk menyasar anak sekolah, serta masih bebasnya para SPG rokok berjualan rokok sampai ke tempat-tempat yang sering dikunjungi anak-anak dan remaja. Namun seluruh peserta yakin, ada peluang-peluang khusus untuk memasukkan tentang pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok, yakni untuk memperkuat indikator Kota Layak Anak (KLA) khususnya dari klaster tiga yakni hak Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan. Peluang itu ada pada indikator KLA nomor 22 tentang tersedianya Kawasan Tanpa Rokok dengan ukuran minimal 50% sekolah dan fasilitas publik sebagai KTR.
Hasil diskusi FGD yang berlangsung sekitar tiga jam itu berhasil menelurkan beberapa rekomendasi penting terkait pelarangan iklan promosi dan sponsor rokok untuk memperkuat indikator penilaian Kota Layak Anak (KLA). Salah satu rekomendasi adalah meningkatkan kriteria KLA, dari kriteria 22, dengan mengganti pertanyaan “Apakah masih ada iklan rokok” menjadi pertanyaan “Apakah ada aturan tentang pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok?”. Rekomendasi lainnya terkait kriteria informasi layak anak, perlu ditambahkan poin terkait iklan, promosi dan sponsor rokok.
Hasil FGD juga merekomendasikan tambahan baru untuk kriteria KLA, yakni berapa persentase dari alokasi penerimaan Pajak Rokok Daerah untuk pelaksanaan KTR dan pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok? (ini diambil dari minimal 50% pajak rokok daerah untuk alokasi kesehatan dan penegakan hukum).
Rekomendasi lainnya terkait dengan peran Kementerian PPPA, dimana peserta FGD mendorong Kementerian PPPA berkoordinasi dengan kemenkes, kemendagri, dan kemenkeu untuk membicarakan tentang pajak rokok daerah terkait KLA. Juga mendorong Kementerian PPPA untuk lebih banyak berkoordinasi dengan berbagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan guna mendukung kebijakan dan implementasi KTR dan pelarangan iklan dan promosi rokok terkait Kota Layak Anak.
Sedangkan rekomendasi khusus untuk Kemendagri, forum FGD mengusulkan agar dalam Peraturan Mendagri yang mengatur penyusunan APBD setiap tahun, agar mencantumkan klausul tentang pengalokasian anggaran yang bersumber dari penerimaan pajak rokok daerah agar dipergunakan untuk KTR dan pelarangan iklan dan promosi rokok.