Refleksi Hari Anak Nasional 2022: Kesalahan-kesalahan Kita yang Membuat Perokok Anak Tumbuh Subur
Ungkapan “Indonesia adalah surga bagi perokok” sejak satu dekade lalu sudah menghiasi pemberitaan surat kabar dan media daring Indonesia. Tidak hanya surga bagi perokok dewasa, tapi juga bagi perokok anak. Dalam 10 tahun terakhir jumlah perokok di Indonesia, termasuk perokok anak terus meningkat. Laporan GATS 2021 menunjukkan jumlah absolut perokok aktif meningkat dari 60,3 juta (2011) menjadi 69,1 juta (2021), atau meningkat 8,8 juta dalam 10 tahun. Sedangkan data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun naik dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Kondisi ini menegaskan Indonesia sudah mengalami darurat perokok anak.
Prevalensi perokok anak juga semakin tinggi pada anak dari keluarga dengan penghasilan menengah ke bawah. Ini berarti sudah jatuh, tertimpa tangga. Kondisi kerentanan mereka sebagai anak dari kelompok rentan, semakin ditambah dengan kecanduan rokok sejak dini. Situasi ini tidak hanya membahayakan kesehatan, melainkan juga menjadi lingkaran setan bagi sosial dan ekonomi.
Darurat perokok anak di Indonesia diperparah karena regulasi yang ada sangat lemah dan belum mampu melindungi anak dan kaum muda menjadi perokok pemula. Kondisi anak dan remaja yang masih labil sangat rentan dipengaruhi berbagai faktor, termasuk paparan dari pemasaran rokok melalui iklan, promosi, dan sponsor yang masif, serta kemudahan akses terhadap rokok dari sisi harga maupun ketersediaannya.
Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, misalnya, menunjukkan masih tingginya remaja 13-15 tahun di Indonesia yang terpapar iklan dan promosi rokok di berbagai media, seperti televisi (65,2 persen), tempat penjualan (65,2 persen), media luar ruang (60,9 persen), dan media sosial dan internet (36,2 persen). Penjualan rokok batangan juga meningkatkan keterjangkauan dan aksesibilitas rokok bagi anak. Harga rokok satuan jauh lebih murah dibandingkan dengan harga rokok per bungkus, sehingga anak-anak dapat dengan mudah membeli rokok.
Menutup mata akan bahaya rokok pada anak adalah kejahatan. Penelitian Musso et al. (2007) membuktikan bahwa merokok pada anak dan kaum muda dapat mempengaruhi fungsi jaringan prefrontal kortex. Ikatan Dokter Anak Indonesia juga menyampaikan semakin muda seseorang merokok, tingkat adiksi rokok akan semakin tinggi, sehingga sulit bagi anak berhenti merokok. Kecanduan ini akan mempengaruhi seseorang dalam kehidupan sosial ekonomi, salah satunya ketika kelak mereka membangun keluarga, pengeluaran yang terbesar adalah untuk membeli rokok, mengalahkan makanan bernutrisi. Data Badan Pusat Statistik pada 2021 melaporkan bahwa pengeluaran nomor dua masyarakat menengah ke bawah adalah untuk rokok.
Konstruksi Sosial Usia Anak
Mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2015, anak didefinisikan sebagai mereka yang berada di rentang usia di dalam kandungan hingga berusia 18 tahun. Di kalangan masyarakat terkadang lebih mudah mendefinisikan anak sesuai kelompok sekolah, yaitu anak pra-sekolah, SD, SMP, dan SMA—anak yang telah lulus SMA masih dikategorikan sebagai anak. Sosiolog asal Amerika Serikat, Talcott Parson, mengatakan anak muda tidak bisa dengan mudah dikategorikan secara biologis dan universal karena entitas anak muda merupakan hasil dari konstruksi sosial yang bisa saja berubah tergantung dinamika ruang, waktu dan situasi tertentu.
Dari sini kita memahami bahwa definisi anak dan remaja muda sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang berlaku dan dominan. Anak muda memiliki batas kategori yang spesifik, berbeda-beda di setiap kebudayaan, kebijakan, dan negara. Struktur sosial masyarakat, ideologi politik, ataupun sistem ekonomi yang dianut negara berperan dalam pembentukan subjek anak muda.
Masyarakat kita mendefinisikan usia anak berbeda-beda dan terkadang berbenturan dengan konstruksi hukum. Misalnya dalam hal penggunaan alkohol, masyarakat kita akan keras melarang mereka mengkonsumsinya karena menganggap mereka masih anak-anak. Namun dalam hal, misalnya, pernikahan anak berusia di bawah 18 tahun, sebagian masyarakat menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar.
Hal yang sama juga terjadi dalam konteks rokok. Masyarakat kita tidak memerangi konsumi rokok pada anak. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, anak yang merokok bukanlah hal yang berbahaya. Hasil survei Lentera Anak pada 2020 terhadap penjual warung menemukan bahwa mayoritas responden menyatakan tidak pernah menjual rokok kepada anak di warungnya. Namun ketika ditanyakan lagi dengan pertanyaan apakah mereka pernah menjual rokok kepada pelajar yang berseragam SD, SMP, dan SMA, sebanyak 96 persen responden menjawab “ya”. Ini menegaskan bahwa masyarakat kita mendefinisikan usia anak yang tidak boleh merokok adalah anak yang berada pada usia pra-sekolah. Sedangkan mereka yang sudah sekolah atau duduk di bangku SD, SMP, dan SMA bisa dengan mudah mengakses rokok.
Berbagai persoalan di atas membuktikan bahwa usia anak merupakan definisi yang cair dan bisa berubah bentuk. Sebagaimana hasil dari konstruksi sosial, makna usia anak dan remaja bisa terus berubah berdasarkan kepentingan siapa dan diproduksi oleh siapa.
Toxic Masculinity dan Paparan Iklan Promosi Sponsor Rokok
Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebutkan bahwa 76 persen perokok di Indonesia telah memulai merokok di bawah 18 tahun. Jika kita melihat status demografi tersebut, mayoritas mereka adalah laki-laki, lebih dari sepertiga berusia 10-14 tahun atau masih usia SD, dan lebih dari separuh perokok anak adalah mereka yang masih mengenyam bangku SMA.
Data yang disampaikan Kementerian Kesehatan pada 2018 juga menyebutkan bahwa hampir sepertiga penduduk usia di atas 15 tahun adalah perokok, dengan perokok laki-laki mencapai lebih dari 66 persen. Dengan kata lain, dua dari tiga laki-laki adalah perokok.
Maka tidak heran jika permasalahan perokok anak berkaitan dengan intergenerasional toxic masculinity, artinya toxic masculinity yang diturunkan secara turun temurun dalam masyarakat kita. Dengan merokok, laki-laki dianggap lebih jantan, lebih kuat, lebih kuat, lebih bisa bekerja keras, dan sebagai bentuk penerimaan sosial. Sehingga, anak mulai merokok karena mencontoh orang dewasa dan ingin dipandang sebagai lelaki maskulin.
Toxic masculinity yang ditransmisikan intergenerasional melalui aktivitas sosial, budaya, dan kehidupan sehari-hari, telah menormalkan perilaku merokok pada anak. Hal ini terjadi karena masifnya iklan dan promosi rokok di tengah-tengah kehidupan kita. Khususnya bagi anak dan remaja, iklan dan promosi rokok membanjiri setiap lini kehidupan mereka, misalnya, dengan jargon-jargon yang dianggap keren. Juga, pada konser musik yang mereka datangi yang bertaburan banner dan promosi rokok karena acara tersebut disponsori perusahaan rokok. Dalam beberapa kasus, pelajar SMP dan SMA yang akan mengadakan kegiatan pentas seni di sekolah pun bisa dengan mudah mendapatkan sponsor dari perusahaan rokok.
Sehingga, toxic masculinity yang mereka lihat, lalu mereka resapi pengalamannya, dan “dibenarkan” oleh masyarakat sekitarnya, membuat rokok di mata anak dan remaja sebagai produk yang normal. Perlahan-lahan mereka mulai menerima rokok menjadi bagian dari hidupnya.
Normalisasi Merokok dalam Kehidupan Sehari-hari
Pada sebagian budaya masyarakat kita, kegiatan merokok bersama terkadang menjadi bagian dari kegiatan acara adat. Bahkan, di sejumlah daerah rokok diberikan sebagai hadiah kepada teman dan sahabat.
Fenomena normalisasi merokok tidak hanya terjadi pada masyarakat tradisional, namun juga di masyarakat urban. Merokok menjadi bagian untuk menaikkan status sosial, membangun pertemanan—sebagai simbol keakraban dan solidaritas. Merokok juga menjadi hal yang biasa terjadi di rumah, di sekolah, dan di tempat umum lainnya. Kita tidak merasa malu untuk merokok di mana pun, kapan pun, dan di depan siapa pun.
Maka tidak heran, jika dua dari tiga laki-laki di Indonesia adalah perokok, artinya setiap hari anak-anak melihat paling tidak dua orang terdekat mereka merokok. Ketika anak melihat keluarga dan masyarakatnya merokok sebagai budaya, di mata mereka merokok bukanlah perilaku berbahaya. Studi Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menunjukan bahwa siswa mengetahui bahaya merokok namun hanya sedikit yang percaya bahwa sulit untuk berhenti merokok. Kondisi masyarakat yang “menormalkan” rokok menjadikan siswa merasa merokok hanya “sedikit” berbahaya.
Payung Bocor Regulasi
Kondisi mengkhawatirkan terjadi pada anak dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Biasanya, larangan orang tua bukanlah alasan kesehatan, namun karena anak dianggap belum mampu mencari uang sendiri untuk membeli rokok. Sehingga, ketika anak-anak sudah bisa mencari uang sendiri atau mendapatkan rokok dari temannya, hal ini bukan dianggap sebagai masalah besar. Masyarakat kita cenderung mendefinisikan perilaku merokok pada anak sebagai kenakalan remaja biasa.
Untuk mengubah budaya dan mendenormalisasi rokok harus dimulai dari adanya kebijakan yang kuat secara sosial dan struktural, yang diimplementasikan dan diawasi ketat. Indonesia sudah memiliki regulasi PP 109/2012 tentang Pengamanan Zat Mengandung Adiktif Produk Tembakau untuk Kesehatan. Namun setelah 10 tahun diberlakukan, implementasi regulasi ini masih gagal melindungi anak, melihat fakta bahwa semakin meningkatnya perokok anak. Regulasi secara jelas menyebutkan adanya larangan menjual rokok kepada anak dan larangan menyuruh anak membeli rokok, namun kebijakan ini memposisikan anak sebagai passive agent, dengan anak dianggap tidak mampu mengakses rokok. Faktanya, anak masih mudah membeli rokok—dengan banyak orang tua masih menyuruh anaknya membeli rokok.
PP 109/2012 yang seharusnya menjadi payung melindungi anak untuk menjadi perokok ternyata masih bocor karena belum mengatur faktor-faktor yang mempengaruhi perokok anak, yaitu normalisasi dan toxic masculinity rokok melalui iklan, promosi dan sponsor rokok, penjualan rokok batangan, dan kemudahan membeli rokok oleh anak. Jika hal ini terus berlanjut, Indonesia akan terus menjadi surga bagi perokok.
Hasil polling di rubrik Indikator Tempo.co pada periode 11 Juli-18 Juli 2022 menunjukkan mayoritas responden (78 persen) menginginkan pemerintah membuat regulasi yang kuat untuk melindungi anak menjadi perokok. Fakta ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat terhadap perlindungan anak dari rokok masih cukup tinggi. Mereka mengharapkan pemerintah bisa mengintervensi faktor penyebab anak merokok dengan membuat sebuah kebijakan yang tegas untuk melindungi anak dari rokok.
Anak kita adalah generasi masa depan namun kita sering kali abai memenuhi dan melindungi mereka saat ini. Kondisi anak yang masih labil sangat rentan dipengaruhi industri rokok yang menggunakan berbagai strategi pemasaran untuk menggoda anak merokok.
Dalam kondisi anak-anak Indonesia berada dalam masyarakat yang menormalkan rokok, dibutuhkan regulasi yang kuat untuk memutus rantai normalisasi rokok dengan melakukan denormalisasi. Pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok harus tegas ditegakkan untuk menghapus toxic masculinity. Juga, larangan penjualan rokok batangan serta perlunya menaikkan harga rokok agar anak tidak mudah mengakses rokok.
Semoga pemerintah merevisi PP 109/2012 sebagai hadiah bagi anak di Hari Anak Nasional pada 2022 ini.